Sunday, August 20, 2023

Adaptasi dengan Sekolah Baru

Salim pindah sekolah saat kelas 5 SD. Sampai hari ini kalau ditanya lebih enak sekolah yang mana, Salim akan jawab lebih enak sekolah yang lama. Alhamdulillah sekolah lama memberikan kesan positif kepada Salim. Bahkan saya pun masih sering menyesal karena Salim pindah sekolah.

Adaptasi Sekolah Baru


Kenapa pindah sekolah? Sudah saya ceritakan di Persiapan Pindah Sekolah Baru. Jadi bukan karena sekolahnya jelek. Malah bagus banget dan berkesan. Saya saja nyesek kalau ingat kenapa harus pindah. Pengennya terus di situ karena ketiga anak saya sudah di situ. 

Di kelas 5 ini Salim pindah dari SDIT ke SD swasta umum. Sekolah barunya ini sekolah umum biasa, bukan sekolah Islam. Otomatis banyak banget yang berbeda. Salim pun harus menjalani masa adaptasi yang lumayan nih. Begitu juga dengan saya. Apa saja adaptasinya? 

Adaptasi Sekolah Baru 


Seragam Sekolah 

Saya kaget karena mengira semua sekolah sudah pakai celana panjang, termasuk sekolah umum. Ternyata sekolah umum masih mengenakan celana dan rok pendek. Saat pembagian seragam itu, Salim juga kaget dan sempat menolak pakai celana pendek. Akhirnya dia pakai celana panjang kakaknya yang ada saja. Yang nggak ada ya tetap pakai yang pendek. 

Salim juga sempat grogi melihat teman-teman perempuannya yang pakai rok pendek dan nggak berjilbab. Dikiranya mereka beragama lain. Namanya juga sekolah umum ya agamanya campur, tapi di kelas Salim kebetulan muslim semua. Saya bilang saja walaupun nggak berjilbab, anak itu tetap muslim. 

Jadi siapa bilang kalau sekolah-sekolah dasar umum sekarang itu semua anak perempuan harus berjilbab? Buktinya di kelas Salim itu hanya 4 anak perempuan yang berjilbab. Guru-gurunya sebagian besar berjilbab tetapi nggak memaksakan anak-anak perempuan untuk berjilbab. 

Satu lagi nih, seragam sekolahnya ternyata ada yang harus dijahit sendiri. Pertama kalinya saya jahitin seragam anak dan ternyata ongkosnya lumayan yah. Mending beli jadi. Untung cuma satu seragam yang mesti dijahit sendiri. 

Buku Penghubung 

Komunikasi guru dan wali murid menggunakan buku penghubung. Guru kelas nggak ada lagi di dalam grup ortu. Semua informasi anak-anak disampaikan oleh korlas. Jadi nggak ada lagi orangtua bisa menitipkan ini itu ke guru kelasnya di dalam grup kelas. Kalau mau ya harus japri sendiri hehe. Nggak ada lagi obrolan ini itu dengan guru kelas. 

Bu guru sepertinya bisa fokus memegang anak-anak nih, karena wali murid nggak bertanya ini itu di grup. Saya agak gagap pada awalnya dan hampir saja ketinggalan informasi karena jarang melihat buku penghubung. Benar-benar wali murid disuruh mandiri ya mencari informasi. Nggak lagi mengandalkan wali kelas.

Informasi di Majalah Dinding 

Kalau di sekolah lama itu setiap ada kegiatan pasti ada suratnya yang dikirim ke whatsapp oleh wali kelas. Di sekolah baru ini nggak ada surat resminya. Suratnya ditempel di majalah dinding. Jadi orangtua harus sering-sering ke sekolah dan baca mading. 

Saya jadi teringat sekolah zaman dulu yang pengumuman apa pun ditempel di majalah dinding. Ini bagus sih, jadi anak dan ortunya bisa mandiri. Nggak lagi mengandalkan suapan dari wali kelas. Untung saja korlasnya aktif menginformasikan ke grup. 

Ekskul Menjadi Pelajaran Wajib 

Baru sekolah ini sih yang menjadikan ekskul sebagai pelajaran wajib dan ada jam pelajarannya juga di hari belajar biasa. Kalau di sekolah lain, ekskul hanya tambahan dan dilakukan setelah jam pelajaran sekolah. Alhasil anak-anak saya jarang yang ikutan ekskul. Kalau sekarang, Salim wajib ambil satu ekskul karena masuk jam pelajaran sekolah. 

Saya suka dengan konsep ini, sehingga anak-anak nggak belajar lagi di luar jam pelajaran sekolah. 

Hari Jumat Sangat Pendek 

Rasanya saya sudah lupa kapan hari Jumat itu belajar cuma sampai jam 11 siang. Selama di SDIT dan SMPI, hari Jumat ya belajar seperti biasa pulangnya sore hari. Nah di sekolah umum ini, Salim cuma belajar sampai jam 11. Pendek banget ya. 

Di satu sisi ya enak anaknya bisa santai. Di sisi lain, dia jadi nggak salat Jumat di sekolah. Salim harus salat Jumat sendirian di masjid dekat rumah. Pernah nggak salat Jumat gara-gara saya kelupaan. 

Ibadah Mandiri 

Namanya juga sekolah umum, jadi pendidikan agama nggak jadi prioritas. Kalau di SDIT kan solat zuhur berjamaah. Sekarang ini solat sendiri-sendiri saja. Alhasil, Salim malas solat di sekolah. Dia pun solat zuhur di rumah karena sekolahnya cuma sampai jam 13.30. 

Jadi sekarang sudah jelas alasannya kenapa orangtua memasukkan anak ke SDIT itu karena pelajaran agama lebih banyak, ibadah juga jadi prioritas dan dibimbing oleh guru. Sedangkan di sekolah umum ya anak-anak harus ibadah mandiri. Pelajaran agama hanya dapat 4 jam seminggu. Dua jam pelajaran agama, dua jam pelajaran Baca Tulis Quran. 

Otomatis saya harus ekstra mengajari juga. Kalau dulu tiap hari ngaji dengan gurunya, sekarang hanya seminggu sekali. Saya yang harus rutin mengajari supaya Salim nggak lupa ngaji. Begitu juga dengan solatnya supaya tetap disiplin. Bismillah yaa....


1 comment:

  1. Memang ada plus minus masing2 ya mba. Kalo udh komit pilih A, ya harus siap juga dengan kekurangan dan tambahan tugas buat kita. Aku sendiri Krn anak2 sekolah di negeri, otomatis juga utk agama aku les in 3x seminggu Ama guru pribadi. Kebetulan Deket rumah juga. Kalo suruh ngajar sendiri, aku takutnya emosi Krn ga sabar 🤣. Udh paling bener panggil guru ajalah.

    Kenapa ga sdit, aku dan suami punya alasan sendiri sih. Cukup kami yg tahu lah, tapj pastinya apapun sekolah si anak, kalo ortunya ga mau aktif ikutan cari tahu dan membimbing, pasti susah. Mau ga mau memang kitanya harus terlibat juga dlm pendidikan anak.

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...