Friday, July 8, 2011

Cerpen: RAMALAN BINTANG

RAMALAN BINTANG

Apa yang kamu impikan akhirnya tercapai.
 Walaupun berbeda dari apa yang kamu inginkan,
tapi kan kamu senang.
Kesehatan: Fit banget.
Asmara : Don’t worry be happy.
Keuangan : Boros banget sih kamu.
Alma tersenyum saat membaca ramalan bintang di majalah remaja kesayangannya itu. Wajahnya sumringah, penuh harap. Ramalan bintang minggu ini tak mengecewakan. Apa lagi ramalan asmaranya. Don’t worry be happy? Apakah maksudnya ia akan mendapatkan pangeran yang ditunggunya selama ini? Entahlah, tapi ia harap begitu. Selain majalah, di tempat tidurnya juga ada gaun pesta yang baru dibelinya tadi sore. Gaun pesta biru muda yang sedikit mewah dengan banyak renda sebagai hiasannya. Ia rela mengeluarkan uang tabungannya selama ini demi pesta nanti malam. Pesta ulang tahun Isma, teman dekatnya. Seperti banyak gadis remaja yang merayakan ulang tahun sweet seventeennya. Begitu juga Isma. Pesta yang meriah, katanya. Itulah sebabnya Alma tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia harus tampil sebaik-baiknya. Mungkin di pesta itu ia akan bertemu Farid, kecengannya selama ini? Katanya ia akan datang. Siapa tahu maksud ramalan itu adalah ia dan Farid. Don’t worry be happy, begitu!
Alma terlihat sangat cantik sore ini. Berbeda dari biasanya. Jelaslah. Sapuan lipstik warna merah jambu mewarnai bibirnya. Bedaknya pun sedikit tebal dari biasanya. Rambutnya yang sebahu dijepit dengan jepit biru muda, senada dengan warna gaunnya. Itulah sebabnya ia begitu percaya diri. Ia ingin datang lebih awal, acaranya sih masih nanti malam. Hitung-hitung bantu-bantulah! Tapi baru saja kakinya dilangkahkan keluar, Risma, kakak perempuan satu-satunya memanggil.
“Mau ke mana, Al?” tanya Risma sambil meletakkan teh hangat pesanan ayah di atas meja tamu. Ia terkejut melihat dandanan Alma yang berlebihan. Alma melirik sinis. Ia tahu, kakaknya pasti ngoceh.
“Cuma mau main ke rumah Isma, kok!” jawabnya, bohong. Kening Risma berkerut.
“Main? Nggak salah? Kok rapi amat?” Ia menatap Alma dari atas ke bawah.
“Ya, nggak pa-pa, dong. Suka-suka!” Alma menukas, masih dengan wajah sinisnya. Ia paling sebal kalau Risma mulai tanya-tanya. Mau tahu saja urusan orang! Risma senyum. Ia maklum dengan sikap adiknya itu.
“Ya udah deh kalo gitu. Eh, kakak ada Annida baru tuh, kalo mau baca.” Ia menawarkan. Alma menelan ludah. Annida? Sekali saja baca majalah itu, ia langsung muak. Majalah kayak begitu dibaca. Isinya kebanyakan menyindir. Sebel!
“Nanti aja deh, Kak. Alma udah buru-buru nih.”
“Iya deh. Hati-hati ya.” Risma ngalah. Alma bergegas pergi. Kelamaan di sini bisa dikomentarin panjang lebar.
“Alma!” panggil Risma. Alma melengos. Tuh, kan. Jangan-jangan mau ngoceh lagi.
Assalamu’alaikumnya mana?” tanya Risma, menyindir.
Assalamu’alaikum!” seru Alma, cepat lalu kabur.
***
Belum banyak orang yang datang ketika Alma sampai di rumah Isma. Ia langsung mengambil tempat di pojok. Rencananya tadi ingin bantu-bantu, tapi ternyata semua telah tertata rapi. Ia kagum melihat tata ruang rumah ini. Kursi-kursinya disusun seperti restoran mewah. Satu meja dengan dua kursi berwarna-warni. Di tengah meja diletakkan lilin hias yang cantik. Cocok dengan tema pestanya: Candle Light Dinner. Ia mulai berkhayal kalau-kalau ada cowok yang menghampirinya dan mengajaknya ngobrol berdua saja. Apalagi kalau cowok itu Farid.  Ah, romantisnya….
“Al! Ngelamun aja!” seru Isma, tiba-tiba.
“Aduh… lu bikin gue jantungan aja. Wow! Surprise, Is. Pesta lu belum ada yang nyamain, deh.”  Alma memuji. Isma bangga.
“Iya, dong. Eh, lu mau minum, nggak?”
“Enggak deh. Em… gimana?”
“Gimana apanya?” Isma bingung. Alma malu menjawabnya. Padahal Isma sudah tahu semua isi hatinya.
“Itu, lho. Farid! “ jawabnya agak berbisik. Isma diam.
“Kenapa? Kok lu diam sih? Lu udah ngundang Farid kan?” tanya Alma lagi. Isma menghela napas.
Sorry deh, Al. Kayaknya dia nggak datang. Lu kan tau sendiri dia itu gimana. Sok alim, sok suci. Mana mau dia gabung sama kita-kita,” jawabnya. Alma terkejut.
“Ya… kok gitu? Sia-sia dong pengorbanan gue hari ini.”
“Udah deh. Ntar juga banyak cowok-cowok keren. Lebih keren dari Farid malah! Dunia lu kan belum terbuka. Taunya cuma Farid… aja. Padahal cowok kayak Farid itu banyak stoknya.” Isma menghibur. Alma melengos. Mau bagaimana lagi? Mungkin ramalan itu salah, seperti biasanya. Ia melirik jam tangannya. Sudah waktunya shalat maghrib.
“Eh, Is, numpang shalat, dong.”
“Shalat? Udah rapi gitu juga. Entar make-up lu luntur lho. Lagian acaranya mau dimulai nih. Kan bisa diganti nanti.” Isma menukas. Alma pasrah. Terpaksa tidak shalat dulu, walaupun ia merasa tak enak hati. Orangtuanya selalu menekankan agar tidak melalaikan shalat. Akhirnya sekarang bolong juga.
***
Pukul 18.00 acara dimulai. Ruangan telah penuh. Suara house music telah diperdengarkan. Alma mencari-cari, siapa tahu Farid datang. Sudah lama ia naksir cowok itu. Bukan hanya tampangnya yang oke, Farid juga bintang kelas dan baik hati. Orangnya lembut dan so cool. Bukan hanya Alma yang merindukan perhatiannya, cewek-cewek lain juga. Farid memang cuek. Makanya kalau sekarang harapan Alma pudar, wajar saja, tapi tetap saja ia kecewa. Ia melengos kesal. Benar, ramalan itu bohong. Sebenarnya ia juga tak sepenuhnya percaya, tapi ramalan itu memang bagus. Membuat ia berbunga-bunga. Herannya, pas yang jelek-jelek beneran terjadi.
Alma makin kesal karena ia merasa sendiri di tempat seramai itu! Tidak ada yang mengajaknya bicara. Semua asyik berjoget. Mereka sepertinya fit benar, tidak seperti dirinya. Lesu!
“Al!” seru Isma, kencang, menyamai suara musik yang hingar-bingar. Alma terkejut. Wuih! Siapa cowok keren di samping Isma?!
“Lu sendirian aja sih! Kayak nggak menikmati pesta gua. Makanya gua bawain lu temen. Kenalin nih. Ronny,” kata Isma. Alma tersenyum. Eh, tuh cowok malah tertawa.
“Jadi ini namanya Alma? Dari tadi gue liatin bengong aja. Nggak niat ikut pesta ya ?” tanyanya. Alma tersipu. Berarti dari tadi cowok itu memperhatikannya? Jadi ge-er.
“Emang ada bagian hatinya yang hilang, tapi kayaknya sekarang udah ketemu. Gua tinggal dulu, ya” Isma tahu diri.
“Eh, Is, temenin dong !” seru Alma. Ditinggal berdua sama cowok yang belum dikenal siapa coba yang nggak grogi. Apa lagi cowok ini emang bikin grogi.
“Tamu gue kan bukan elu aja, Al. Ronny nggak galak kok,” kata Isma sambil pergi. Yah… terpaksa deh. Ronny duduk di sebelah Alma.
“Katanya lu teman sekelas Isma, ya?” tanyanya memulai obrolan. Alma tersenyum.
“Udah tahu nanya.”
“Eh, ternyata bisa bercanda juga.” Ronny surprise.
“Bisa dong. Emangnya gue patung. ”
“Ya, nggak nyangka aja. Habis dari tadi bengong sih. Kirain pendiam.” Ronny tersenyum.
“Emang gue mau ngomong sama siapa?” tanya Alma, bercanda. Ronny tertawa.
“Ya… gabung sama kita-kita dong. Lagi be-te ya, yang ditunggu nggak datang?” tanyanya. Alma diam.
“Gua nggak nunggu siapa-siapa, kok!” elaknya kemudian.
“Yang bener, nih….
“Terserah mau percaya apa enggak!” sahut Alma, cuek. Ronny tersenyum.
“Masa’ cewek secantik lu nggak punya pacar?”
Dibilang “cantik”, perasaan Alma langsung melayang. Ia segera menetralisir perasaannya.
“Ya nggak sekarang.”
“Terus kapan?” tanya Ronny. Alma melirik. Ia mengerti arah pembicaraan cowok itu.
“Ya nggak tau, ya. Sedapetnya aja.”
“Kalo sekarang?” pancing Ronny. Alma makin GR.
“Nggak tahu deh.”
Ronny tertawa.
“Emang lu suka cowok yang kayak apa sih?” tanyanya. Alma tersenyum. Sekilas ia melihat pelayan pria yang membawa makanan.
“Yang bisa masak !” jawabnya, spontan. Ronny melongo.
“Lho? Kenapa? Kok seleranya aneh, sih?” tanyanya. Alma jadi bingung sendiri. Kenapa pula dia ngomong begitu.
“Yaaa karena gue nggak bisa masak,” jawabnya, polos. Ronny tertawa.
“Zaman sekarang aneh, ya. Cewek malah nggak bisa masak. Gue bisa masak, lho!” katanya. Deg! Alma tersentak. Apa sih maunya cowok ini? Perasaan dari tadi mancing terus. Jangan-jangan…ah, ia jadi makin ge-er. Ia tersenyum. Sekarang ia mengerti maksud ramalan bintang itu. Jadi maksudnya, Ronny-lah cowok yang bikin dia Don’t worry be happy. Duuh, ia senang sekali. Ronny kan lebih keren dari Farid dan mungkin lebih mudah didapat. Daripada dicuekin sama Farid, mendingan sama Ronny saja.
“Al! Kok bengong?!” tegur Ronny. Alma gagap. Ia tersenyum. “Kayaknya lu hobi bengong, ya?” tanya Ronny.
Sorry!” ucap Alma, cepat. Lagi, angannya melambung. Kalau bisa pacaran sama Ronny… asyik kali, ya? Bisa bikin teman-teman ngiri. Dapet  Thomas Jorghi di mana, Al!
“Eh, si Isma happy  banget, tuh!” seru Ronny, mengalihkan pembicaraan. Alma melihat ke arah Isma. Ya ampun! Beneran, deh. Apa nggak sadar dia kalau goyangannya terlalu bersemangat?
“Isma kok bisa gitu, ya?” tanyanya. Ronny tersenyum. Ia mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. 
“Lu  juga bisa. Nih, Al, yang bikin Isma happy,” katanya sambil menyodorkan sesuatu. Alma terkejut. Sebutir pil merah jambu disodorkan padanya.
“Apaan, nih? Gua nggak sakit kok.” Alma mengelak.
“Bukan. Ini bukan obat sakit, tapi ini obat yang bisa bikin lu tahan goyang semalaman.”
Wajah Alma pias. Jangan-jangan ini… ekstasi? 
“Ayo, Ma!” Ronny mulai memaksa. Alma menghindar. Ia takut. Tiba-tiba saja di matanya wajah Ronny yang tampan berubah menjadi monster.
Sorry, deh. Gue nggak minat!” tolaknya. Ronny terus memaksa.
“Ya Allah! Tidak!” Tanpa sadar Alma berteriak. Bergegas ia meninggalkan tempat itu. Ia menangis dan terus istighfar.
***
Alma menangis di pangkuan Risma. Kejadian di pesta Isma tadi membuatnya shock. Ia benar-benar tak menyangka. Extacy? Ia disodorkan barang haram itu? Obat yang membuat hampir semua teman seumurnya di negeri ini terpuruk? Sesuatu yang hanya ia lihat di televisi? Ia tahu sekali bahaya obat itu.Ternyata Isma… Ronny… dan hampir semua orang yang datang ke pesta itu? Ia benar-benar tak percaya. Risma yang telah mengetahui semuanya hanya diam sambil menepuk-nepuk bahu Alma. Ia membiarkan adiknya menuntaskan isaknya dulu.
“Maafin Alma, Kak. Alma kapok. Alma salah milih teman. Mana Alma nggak sholat Maghrib lagi,” kata Alma, lirih. Risma mengelus rambut adiknya.
“Ya, sudah. Lain kali jangan diulangi, ya. Jangan minta maaf sama kakak, tapi sama Allah. Kamu udah shalat taubat belum?” tanyanya, halus. Alma menghapus air matanya.
“Udah, Kak. Alma nyesel banget. Alma pikir Ronny orang baik.” Alma mengeluh. Risma tersenyum.
“Kalo mau cari yang baik ya bukan di sana,” katanya. Alma mengerti maksud kakaknya. Risma terkejut melihat majalah remaja di meja Alma.
“Lho, Al! Kamu masih suka baca majalah seperti itu?” tanyanya agak kaget. Alma langsung meraih majalah di meja itu.
“Gara-gara ramalan bintang di majalah ini makanya Alma jadi terobsesi pengen dateng ke pestanya Isma. Habis, ramalan asmaranya bilang, Don’t worry be happy,sih!” tukasnya. Kening Risma berkerut.
“Maksudnya apa?” tanyanya. Alma nyengir. Malu.
“Mungkin Alma bisa dapet pacar di pesta itu.”
“Ya Allah! Jadi begitu? Memangnya apa sih yang kamu harapkan dari pacaran? Kakak kan udah bilang kalo itu lebih banyak jeleknya daripada baiknya? Sekarang, apa ramalannya terbukti?”  tanya Risma. Alma menggeleng lemah.
“Jadinya ya seperti ini.”
“Ya sudah. Besok-besok nggak usah baca majalah seperti itu lagi, ya. Lagian isinya nggak bagus. Hanya mengajarkan hedonisme dan konsumerisme saja. Belum ramalan bintangnya yang dibuat-buat. Udah syirik, nggak bener lagi. Mendingan baca Annida aja.. Lebih berhikmah, lho!” Risma menasehati dengan sedikit promosi. Alma nyengir.
“Oke deh kakak…!” ucapnya, bercanda.
***
Dimuat di Majalah Annida No. 18/X 23 Juni 2001

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...